Meski ini terlambat nulisnya, tapi masih mending daripada tidak sama sekali. Ulasan mengenai Ujian Nasional untuk kelas XII SMA pada tanggal 22 - 25 April 2008 lalu, sudah sebulan lewat, tapi masih berbekas. Sedih, marah, kecewa, entah.. sulit untuk mengungkapkan. Berat memang sepertinya, namun semestinya bukan malah menjadi menurun semangatnya, mestinya ini dipakai sebagai cambuk bagi para siswa, minimal sebagai tolok ukur mereka belajar selama beberapa tahun.
Beberapa kejadian unik pun terjadi dan terlewat begitu saja, seolah tidak pernah terjadi. Jika sepintas terdengar, pelaksanaan UN berhasil dan memang berhasil dengan sangat baik. Tapi apakah benar seperti itu? Dari tolok ukur apa dikatakan berhasil?
Ternyata, pandangan tentang keberhasilan sebuah pendidikan masih begitu rancu, sangat bias.
Jika dilihat dari pelaksanaan UN beberapa waktu lalu, bisakah dijadikan patokan bahwa pemerintah berhasil mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan "membentuk manusia Indonesia seutuhnya, berakhlak mulia, dsb.. yang pada intinya manusia yang menguasai IPTEK (ilmu pengetahuan) dengan berlandaskan IMTAK (iman dan takwa). Penguasaan iptek sebagai usaha untuk kreatifitas yang pada akhirnya menjadi negara yang mandiri. Tetap kukuh dengan imtak sebagai arah langkah negara dalam bernegara maupun dalam komunitas negara." Sudah terwujudkah? suatu pertanyaan bagi Anda generasi penerus bangsa!!!
Dalam pelaksanaan UN 2008, sedikit banyak pasti menjadi beban bagi para peserta ujian dengan standar nilai yang ditetapkan. Begitu juga halnya untuk pengawas ujian, setidaknya mereka menjadi lebih terkekang pada saat pelaksanaan UN. Bagi para peserta ujiana, nilai yang menjadi beban memotivasi mereka untuk belajar lebih giat. Namun sangat disayangkan dan ironis jika mereka malah lebih giat belajar untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Suka maupun tidak dengan ulasan ini, yang pasti hal semacam ini banyak terjadi. Bagi sebagian peserta ujian telah begitu "cerdiknya" memanfaatkan peluang untuk melakukan kecurangan selama mengerjakan soal ujian. Sementara, di saat yang sama, pengawas ujian terikat dengan tata tertib pengawas UN yang dilarang untuk melakukan "tindakan" (yang dulu diperbolehkan) bagi peserta yang berbuat curang. Satu contoh kejadian pada saat pelaksanaan UN di "salah satu SMA negeri di kota ini", yang cukup dapat jadi renungan bagi kita. Kepala sekolah langsung menegur para pengawas UN dalam forum karena dianggap terlalu keras dalam melakukan pengawasan pada peserta UN, setelah sebelumnya pengawas ini menurut siswa peserta UN begitu keras mengawasi dengan melakukan tindakan "menatap tajam peserta" (dan masih hanya menatap)", "mondar-mondir di depan ruang ujian" (meski hanya untuk melepaskan kepenatan selama duduk mengawasi), atau "melepas jam tangan seluruh peserta" (ni sih kelewatan :o, karena dianggap bisa digunakan untuk melakukan kecurangan, toh kalo hanya ingin lihat waktu ujian dapat dilihat di jam dinding di bagian ruangan kelas dan dapat dilihat oleh semua peserta)", dan beberapa bentuk pengawasan lain. Kasihan banget ni pengawas, sudah beban mental yang begitu berat ditambah letih mengawasi masih ditegur juga karena melakukan tindakan yang dirasa wajar semacam itu. Mending gak usah diawasi saja selama ujian biar tidak ada yang merasa dilecehkan dan bisa lulus 100% :D.
Namun permasalahannya bukan senang atau tidak senang. Justru permasalahan akan semakin besar nantinya bagi para peserta ujian tersebut. Jika mereka sedari awal tidak menyadari betapa pentingnya sebuah kejujuran dalam ujian bagi mereka sebagai tolok ukur bagi dirinya sendiri selama sekolah, maka jangan salahkan mereka jika pada kemudian hari negara ini dipenuhi oleh para generasi yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginanya.